BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan
tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata
menjangkau seluruh rakyat. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah
menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum
terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh
rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak
terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik yang tertuang dalam TAP Nomor X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden
untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan
perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu..
Dengan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah
memiliki system jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5
Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang.
BPJS merupakan badan hukum dengan
tujuan yaitu mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya. Dalam penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua yaitu BPJS
kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan (Tabrany, 2009). Program pemerintah Jaminan
Kesehatan Nasional ini telah genap berjalan satu tahun. Namun seiring dengan
pelaksanaannya masih terdapat banyak tanda tanya besar apakah program JKN ini
akan survive ataukah program ini akan gagal. Mari kita review sejenak dengan
performance JKN selama tahun 2014 lalu. Dalam rangka starting up, JKN di tahun
2014 berusaha mengupayakan percepatan pembangunan di berbagai dimensi, mulai
dari pembangunan infrastruktur, persiapan distribusi SDM, serta penetapan
berbagai regulasi tentang pengelolaan keuangan maupun pengawasan terkait
implementasinya. JKN gencar menjalin kerjasama dengan provider, melakukan
perekrutan besar SDM, serta merevisi berbagai regulasi yang menuai kontroversi.
Dari semua dimensi, hal yang paling krusial untuk diperhatikan adalah sistem
pembayaran yang menyangkut tarif pelayanan kesehatan.
Sejak pertama diberlakukan 1 Januari
2014 lalu, di Jakarta tercatat hanya 81 rumah sakit swasta bergabung dengan
asuransi kesehatan yang dikelola PT Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
itu. Sebab, dari total 152 RS yang bercokol di Ibu Kota Jakarta, 71 di
antaranya menolak kerja sama. Alasannya, rumah sakit tersebut tidak mau
menampung pasien BPJS karena keberatan dengan premi yang ditawarkan pemerintah.
Mereka beranggapan, biaya yang diatur dalam sistem Indonesia Case-Base Groups
(INA CBGs) terlalu rendah.
INA-CBGs adalah sistem pengelompokan
penyakit pasien berdasarkan ciri klinis yang sama dan sumber daya yang
digunakan dalam pengobatan. Pengelompokan ini ditujukan untuk pembiayaan
kesehatan pada penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagai pola pembayaran yang
bersifat prospektif.
Manfaatnya untuk menetapkan standar tarif dan lebih
memberikan kepastian pada setiap penyakit yang diderita pasien. Sesuai INA
CBGs, premi yang dipatok adalah Rp19.225 per orang per bulan untuk kelas III.
Pengelola rumah sakit swasta khawatir, pembayaran yang rendah itu akan
menurunkan kualitas pengobatan. Selain itu, peraturan juga tidak mewajibkan RS
swasta ikut BPJS. Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan hanya mengatur rumah sakit pemerintah. "Rumah sakit swasta itu
di Perpres dapat ikut. Artinya, boleh ikut boleh tidak," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi Kesehatan DPRD DKI Jakarta,
Ashraf Ali mengkritisi sikap rumah sakit swasta yang menolak pasien Kartu
Jakarta Sehat (KJS). Seharusnya, menurut dia, semua RS yang ada di Jakarta
mendukung program pemerintah. Dia meminta, pengelola rumah sakit lebih
mengedepankan kepentingan warga, bukan hanya sekadar mengejar keuntungan.
"Fungsi rumah sakit itu kan bukan untuk bisnis saja, tetapi itu ada fungsi
sosialnya," ujarnya. Ashraf mengimbau, rumah sakit mau membicarakan
masalah ini dengan pemerintah untuk mencari jalan keluarnya. "Itu kan bisa
dibicarakan, tetapi jangan rakyat yang dikorbankan dong," tegasnya. Masih
Kurangnya implementasi BPJS ini dengan banyaknya polemic yang timbul, Oleh
karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai dampak keuangan
penerapan bpjs di rumah sakit terutama pada rumah sakit swasta dalam penetapan
tarif.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah
di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah
1) Bagaimana Sejarah BPJS?
2) Bagaimana Implementasi BPJS di Rumah
sakit?
3) Apa saja Masalah yang muncul dari
Implementasi BPJS di Rumah sakit?
4) Bagaimana Solusinya?
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan:
1) Sejarah BPJS
2) Implementasi BPJS di Rumah sakit
3) Masalah yang muncul dari
Implementasi BPJS di Rumah sakit
4) Solusinya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
Konsep Jaminan atau
Asuransi Kesehatan Nasional ini pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun
1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali
diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Konsep jaminan tersebut selanjutnya diikuti
oleh negara-negara lain di dunia. Beberapa negara yang telah
mengimplementasikan jaminan kesehatan semesta bagi warganya atau lebih dikenal
dengan Universal Health Care (UHC)
ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel Beberapa Negara
yang Telah Menjalankan UCHC
No
|
Negara
|
Tahun dimulai
|
Jenis Sistem
|
No
|
Negara
|
Tahun dimulai
|
Jenis Sistem
|
1.
|
Norwegia
|
Single Payer
|
8.
|
Brunei
|
Single Payer
|
||
2.
|
Selandia Baru
|
Two Tier
|
9.
|
Denmark
|
Two-Tier
|
||
3.
|
Jepang
|
Single Payer
|
10.
|
Luxembourg
|
Insurance Mandate
|
||
4.
|
Jerman
|
Insurance Mandate
|
11.
|
Korea Selatan
|
Insurance Mandate
|
||
5.
|
Inggris
|
Single Payer
|
12.
|
Singapura
|
Two-Tier
|
||
6.
|
Kuwait
|
Single Payer
|
13.
|
Amerika Serikat
|
2014
|
Insurance
Mandate
|
|
7.
|
Bahrain
|
Single Payer
|
|
|
|
|
Sumber:
Truecostblog.com
Untuk mencapai tujuan cakupan universal, elemen pembiayaan kesehatan tidak
dapat dipisahkan dengan implikasinya pada penyediaan pelayanan kesehatan.
Kelebihan dan kekurangan pilihan sistem pengelolaan asuransi kesehatan nasional
perlu dianalisis berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap
(responsiveness), baik dalam aspek pembiayaan maupun penyediaan pelayanan
kesehataan (Sreshthaputra dan Indaratna,
2001; WHO, 2005):
1. Keadilan
(Equity)
Keadilan dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan dengan
kualitas yang sama bagi setiap warga
2. Efisiensi
(Efficiency)
Efisiensi penggunaan
sumber daya, baik dalam administrasi dan manajemen dana asuransi maupun
efisiensi penyediaan pelayanan kesehatan
3. Daya
tanggap (Responsiveness)
Daya tanggap sistem
pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi hak dan ekspektasi
warga terhadap pelayanan kesehatan yang efektif, bermutu, dan dibutuhkan.
Dr. Peerapol menyampaikan bahwa
upaya-upaya yang dilakukan negara ASEAN dalam mencapai UHC sangat beragam,
meliputi reformasi keuangan terkait paket manfaat,
memperkuat layanan kesehatan dasar, promosi desentralisasi dan partisipasi
masyarakat.Keberagaman ini merupakan aset berharga dimana setiap negara bisa
belajar dari pengalaman negara lainnya.
Dr. Peerapol menekankan beberapa hal mengenai UHC,
yaitu
1. UHC dapat
dicapai pada tingkat penghasilan masyarakat yang rendah sekalipun karena inti
dari UHC adalah akses ke pelayanan kesehatan, bukan hanya sekedar masalah
perlindungan keuangan.
2. UHC
terbukti efektif mengurangi kemiskinan.
3. Ketersediaan
fiskal dan pembiayaan yang inovatif dimungkinkan apabila para pengambil
kebijakan memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan pembelian strategis yang
didasarkan pada program-program yang cost-effective melalui Health
Technology assessment.
4. Penelitian
kesehatan yang berbasis bukti harus dikembangkan guna menjamin pendanaan yang
berkelanjutan serta untuk mengatasi tantangan yang muncul.
Indonesia yang telah
merdeka sejak tahun 1945 ternyata tertinggal dari negara-negara lain dalam hal
perlindungan sosial terhadap rakyatnya. Padahal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengamanatkan perlindungan terhadap rakyat
Indonesia. Tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 28 H, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Disebutkan juga pasa lPasal 33 bahwa Negara
mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dan pada
Amandemen UUD Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya
negara menyediakan pelayanan kesehatan untuk memenuhi hak hidup sehat bagi
warganya, termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.
Seperti negara
berkembang lainnya, banyak dari rakyat Indonesia yang masih berada dibawah
garis kemiskinan. Bahkan 70% dari pengeluaran untuk kesehatan dibayarkan
"out-of-pocket", yaitu seseorang harus membayar langsung kepada
penyedia jasa kesehatan, tanpa bantuan pihak ketiga, baik asuransi maupun
pemerintah(Ghufron Mukti, 2008). Pihak yang
paling terpengaruh dalam masalah kesehatan ini adalah masyarakat miskin dan
kurang mampu, yang malah mempunyai resiko terkena penyakit dan gangguan
kesehatan lebih besar daripada orang lain. Namun karena kondisi perekonomian
mereka yang kurang mampu, masyarakat miskin dan tidak mampu sulit untuk
mendapatkan pelayanan jasa kesehatan, yang diperparah dengan penurunan
pemasukan mereka karena tidak bisa bekerja selagi sakit.
Golongan masayarakat
yang paling rentan terpengaruh dalam masalah kesehatan ini adalah masyarakat
miskin dan kurang mampu. Masyarakat miskin dan kurang mampu mempunyai resiko
terkena penyakit dan gangguan kesehatan lebih besar daripada golongan lain.
Masyarakat golongan tersebut sulit untuk mendapatkan pelayanan jasa kesehatan
karena keadaan perekonomian mereka yang kurang mampu. Hal ini diperparah
dengan penurunan pemasukan mereka karena
tidak bisa bekerja selagi sakit.
Walaupun dapat
dikatakan tertinggal, Pemerintah sebenarnya telah menerapkan dan menjalankan
beberapa program kesehatan sebelum tahun 2004, sebelum disahkannya UU SJSN.
Program tersebut adalah sebagai berikut:
-
Program Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan (JPSBK) yang diselenggarakan pada tahun 1998-2002 dengan dana
pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). JPSBK ini dibuat untuk mengatasi
dampak krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997 terhadap kesehatan keluarga
miskin.
-
Program penanggulangan Dampak Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE Bidkes) yang berlaku tahun
2001 dan 2002. Program ini merupakan kelanjutan dari JPSBK.
-
Pada tahun 2003, PDPSE Bidkes
diubahmenjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang
Kesehatan (PKPS BBM Bidkes).
Pada Tahun 2004,
terbitlah Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN sendiri merupakan
bagian dari SJSN, yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi kesehatan
wajib.
Sehubungan dengan itu,
pada tahun 2005 dimulai program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat
Miskin/JPKMM atau yang lebih dikenal dengan nama Askeskin. Berbeda dengan program sebelumnya, program
JPKMM ini lebih terfokus pada upaya penyembuhan. PT Askes (persero) ditunjuklah
sebagai Badan Pelaksana JPKMM.
Terkait kekhawatiran PT
Askes selaku penyedia layanan Askes akan memanfaatkan dana iuran Askes untuk
masyarakat miskin maupun dana jaminan masyarakat miskin akan digunakan oleh
mereka yang tidak miskin, maka disepakati bahwa PT Askes akan mengelola dana
JPKMM tersebut secara terpisah, dimana untuk administrasi pengelolaan dana
JPKMM ini berprinsip nirlaba. Nirlaba artinya apabila terjadi kelebihan dana
pada tahun tersebut akan menjadi sumber dana di tahun berikutnya. Sebaliknya,
jika terjadi kekurangan dana, maka akan diperhitungkan pada tahun berikutnya.
Untuk iuran bagi masyarakat miskin dan orang terlantar dibayarkan oleh
pemerintah melalui DIPA Departemen Kesehatan dalam APBN.
Program JPKMM/Askeskin
ini hanya berumur 3 tahun (2005-2007) karena pada tahun 2008 digantikan oleh
Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Setelah dievaluasi, maka pada tahun
2008 dilakukan beberapa perubahan. Perubahan yang signifikan adalah adanya
pemisahan fungsi pengelola dan fungsi pembayaran, yang didukung dengan adanya
penempatan tenaga verifikator di setiap Rumah Sakit.
Setiap peserta
Jamkesmas berhak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan
kesehatan rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan
tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, serta pelayanan gawat darurat.
Penetapan peserta
program Askeskin dan Jemkesmas menggunakan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah masyarakat miskin di Indonesia
adalah sebesar 36.146.700 jiwa. Angka tersebut dijadikan dasar oleh PT. Askes
(Persero) dalam menetapkan jumlah peserta yang dijamin oleh JPKMM / Askeskin
pada tahun 2005. Namun dalam pelaksanaan Program Askeskin tahun 2005 tersebut,
jumlah peserta yang ditetapkan sebagai peserta Askeskin lebih kecil dari jumlah
masyarakat miskin yang ditetapkan kabupaten/kota, sehingga pada tahun 2006
dipandang perlu untuk meningkatkan cakupan sasaran pelayanan kesehatan sehingga
dapat mencakup masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu. Beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya perbedaan adalah perbedaan kriteria masyarakat miskin,
mekanisme pendataan, verifikasi dan pemutakhiran data.
Pada Tahun 2007, sesuai
dengan data BPS, jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu adalah sebesar 76,4
juta jiwa. Angka tersebut menjadi dasar penetapan jumlah sasaran peserta
Jamkesmas pada tahun 2007 oleh Menteri Kesehatan. Dari tahun 2007 sampai dengan
tahun 2012, rata-rata anggaran yang dibutuhkan dalam program Jamkesmas adalah
Rp.6.000 per orang perbulan (POPB). Jumlah peserta tetap sepanjang tahun
2007-2012.
Pada tahun 2013
pemerintah memandang perlu untuk menaikkan jumlah peserta program Jamkesmas
menjadi 86,4 juta jiwa berdasarkan hasil survey Pendataan Program Perlindungan
Sosial (PPLS) 2011 yang dilaksanakan oleh BPS. Jumlah tersebut tidak sesuai
dengan jumlah awal yang direncanakan yaitu sebesar 96,4 juta jiwa. Akan tetapi sesuai
pertimbangan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron, anggaran yang ada hanya bisa
untuk memberi Jamkesmas pada 86,4 juta penduduk. Pada tahun 2013 anggaran yang
digelontorkan untuk program Jamkesmas ini meningkat menjadi sebesar 8,29 Triliun
Rupiah.
Tabel Jumlah Peserta
dan Aggaran Jamkesmas 2005-2013
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
Jumlah Peserta (dalam Juta Jiwa)
|
36,14
|
60
|
76
|
76,4
|
76,4
|
76,4
|
76,4
|
76,4
|
86,4
|
Anggaran (dalam Triliun Rupiah)
|
2,23
|
2,6
|
3,526
|
4,6
|
4,6
|
5,1
|
6,3
|
7,4
|
8,29
|
Sumber: Buku Pedoman Pelaksanaan
Jamkesmas
BPJS Kesehatan
sebagaimana akan dijelaskan dalam paparan berikutnya sejatinya melanjutkan
program sebelumnya (Askeskin dan Jamkesmas). BPJS Kesehatan mempunyai cakupan
yang lebih luas (seluruh penduduk Indonesia) dan memperbaiki beberapa kelemahan
program sebelumnya. BPJS Kesehatan mempunyai semangat bahwa pasien yang dijamin
oleh BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan akan melayani dengan segera, tidak
lagi menunda pengobatan atau menunggu uang muka dibayar.
Paparan
berikut akan menjelaskan mengenai BPJS Kesehatan, Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan (PBI Jaminan Kesehatan) dan potensi permasalahan yang mungkin muncul
dalam pelaksanaan program tersebut.
Pada tahun 2011,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) diundangkan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tersebut merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk menjamin seluruh rakyat Indonesia.
Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana diatur dalam UU BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan (Jaminan Kesehatan Nasional)
sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS Kesehatan
merupakan transformasi dari PT Askes (Persero).
Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
JKN diselenggarakan
dengan prinsip sebagai berikut:
1. prinsip
kegotongroyongan,
2. prinsip
nirlaba,
3. prinsip
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas
4. prinsip
portabilitas
5. prinsip
kepesertaan bersifat wajib,
6. prinsip
dana amanat dan
7. prinsip
hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
JKN dirancang
sedemikian rupa untuk menjamin bahwa setiap peserta (seluruh penduduk) mendapat
layanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Kebutuhan medis adalah kebutuhan
seseorang untuk mendapatkan pemeriksaan, obat, atau, perawatan yang hanya dapat
dikenali oleh tanaga medis.
BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia
termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
Peserta Program JKN
terdiri atas:
1. peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan yang meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu dan
2. peserta
bukan PBI yaitu peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu.
Peserta program
diwajibkan membayar iuran, namun khusus untuk iuran bagi masyarakat miskin dan
tidak mampu (peserta PBI), pemerintah yang membayarkannya dengan sumber dana
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan adanya BPJS
Kesehatan, Indonesia menganut sistem Single Payer, yaitu Pemerintah memberikan asuransi kepada semua
warga dan membayar semua pengeluaran kesehatan.
2.2.Penyelenggaraan
dan Implementasi BPJS Kesehatan di Rumah Sakit
a. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan pada Program JKN
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan Pada
Jaminan Kesehatan Nasional, penyelenggara jaminan kesehatan meliputi semua
Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan
rujukan tingkat Lanjutan (Permenkes 71/2013 Pasal 2).
Fasilitas
Tingkat lanjutan meliputi :
·
Klinik utama atau yang setara
·
Rumah Sakit Umum
·
Rumah Sakit Khusus
Pelayanan
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (Permenkes 71/2013 Pasal 2)
a. Administrasi
pelayanan
b. Pemeriksaan,
pengobatan dan konsultasi spesialistik dokter spesialis atau subspesialis
c. Tindakan
medis spesialistik baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis
d. Pelayanan
obat dan medis habis pakai
e. Pelayanan
penunjang diagnosis lanjutan sesuai dengan indikasi medis
f. Rehabilitasi
medis
g. Pelayanan
darah
h. Pelayanan
kedokteran forensik klinik
i.
Pelayanan jenazah pada pasien yang
meninggal di Fasilitas Kesehatan
j.
Pelayanan inap non intensif
k. Pelayanan
inap di ruang intensif
b. Indonesian Case Base Group (INA-CBG’S)
di Indonesia
1) Pengertian
INA CBG’S
Case
Base Group (CBG’S) yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan
diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Sistem pelayanan yang
berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan
yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus
campuran,merupakan satu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan Rumah
sakit.
2) Pengertian
INA CBG’S (Indonesian Case-Base Group)
INA
CBG’S adalah suatu pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang
dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber
daya yang digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik
yang sejenis. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata
yang dihabiskan oleh satu diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan
kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama.
3) Manfaat
INA CBGs bagi Rumah Sakit
·
Rumah sakit mendapatkan pembiayaan
berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya
·
Dapat meningkatkan mutu dan efisiensi
pelayanan Rumah Sakit
·
Bagi dokter atau klinisi dapat
memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasrkan
derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau
multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat
memonitor QA dengan cara yang lebih objektif.
·
Perencanaan budget anggaran pembayaran
dan belanja yang lebih akurat
·
Dapat untuk mengevaluasi kualitas
pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi.
·
Keadilan yang lebih baik dalam alokasi
budget anggaran
·
Mendukung sistem perawatan pasien dengan
menerapkan Clinical Pathway.
2.3.Identifikasi
Masalah yang Mungkin timbul dalam program BPJS Kesehatan
Lima
masalah terkait BPJS dengan sistem informasi di pihak peserta, pengelola, PPK I
II III dan usulan pemecahan masalahannya.
1.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit program
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, hasilnya terlihat pada
data peserta dan obat yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Kemenkes merevisi
beberapa regulasi yang memang malah menghambat pelayanan seperti merevisi
aturan jenis penyakit yang bisa langsung ke RS.
2.
Ketidakjelasan tentang status kepesertaan Proses registrasi bagi peserta yang terkesan sulit karena disetiap
kabupaten tidak bisa bisa diakses padahal sudah memiliki token. Proses
mutasi dari peserta askes dan peserta JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Jamsostek) ke BPJS Kesehatan, selama ini banyak permasalahan terkait peralihaan
data. Peserta JPK Jamsostek harus mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan, padahal
seharusnya otomatis. Transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan
meninggalkan peserta JPK Pekerja Mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta
BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan
peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.
3.
Validitas data kepesertaan juga masih belum sempurna.
Kartu peserta belum terdistribusikan seluruhnya. Status kepesertaan
gelandangan, pengemis, orang telantar, penderita kusta, penderita sakit jiwa,
penghuni lembaga pemasyarakatan dan calon tahanan yang tidak jelas
pertanggungjawabannya. BPJS juga belum punya lembaga yang mengurusi kepuasan
peserta dan respon pengaduan masyarakat. “Sistem teknologi informasi BPJS belum
berjalan dengan baik dan maksimal.
4.
Kurangnya sosialisasi tentang regulasi à hal regulasi para stakeholders
dilihat belum paham betul regulasi Jaminan Kesehatan Nasional. Pedoman
pelaksanaannya juga belum dijabarkan secara lengkap dan jelas.
5.
Belum optimalnya pelayanan dan hasil evaluasi DJSN meliputi
belum berjalan secara baik mekanisme rujukan, rujukan berjenjang, rujukan
parsial dan rujukan balik, belum memadai kapasitas fasilitas kesehatan primer,
belum optimal pelayanan kepada peserta, dan belum lengkap e-katalog 2014. Bagi
peserta sebagian besar merasakan kurang puas akan pelayanan, seperti hak
peserta askes dan jamsostek dikurangi terkait berbedanya obat yang dapat
diklaim dari jamsostek ke BPJS. Tidak berlakunya jampersal di BPJS. Dalam hal
manfaat, DJSN melihat Jaminan Sosial Kesehatan oleh BPJS justru berimbas pada
penurunan manfaat yang dirasakan oleh peserta lama (seperti peserta Jamsostek
dan Askes).
6.
Kekurangan sumberdaya manusia (SDM) seperti tenaga
medis, perekam medis dengan coding INA-CBG’s, perekam medik dan dokter harus
paham benar mengenai apa itu International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems 9 ( ICD 9) dan ICD 10. Para perekam medik harus terampil dalam membuat
klarifikasi penyakit dan tindakan sesuai dengan ICD 9 dan ICD 10 sistem BPJS
dengan cepat dan tepat.
7.
Permasalahan masih didominasi ketidaksiapan pemerintah
dan BPJS Kesehatan –sebelumnya bernama PT Askes (Persero) dalam
menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat àKeterlambatan pembuatan
regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi, sehingga
menimbulkan masalah di lapangan.
Pemecahan masalahnya:
1.
Harus dibuat standar operasional pelayanan, misalnya
pendataran peserta berapa lama, berapa lama follow up pengaduan peserta.
2.
Pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di
Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit yang mudah diakses masyarakat.
3.
Master file data kepesertaan harus segera dibuat,
distribusi kartu peserta dituntaskan dan segera berkoordinasi dengan Kemendagri
untuk penggunaan Nomor Induk Kependudukan untuk kepesertaan Jaminan Kesehatan
Nasional.
4.
Hal yang harus dibenahi tidak hanya aturan. Melainkan,
masalah pengawasan terhadap pelaksanaan program JKN karena berbagai aturan
program BPJS Kesehatan dibuat tergesa-gesa, sedangkan sosialisasi terhadap
peraturan dinilai kurang yang hanya mengejar target pelaksanaan.Peraturan yang
perlu ditambah hanya mekanisme pengawasan saja. Misalnya, orang yang darurat
itu harus diatasi serta peraturan tanggungjawab Pemda dan pemerintah pusat yang
sekarang pelayanan perlu dimaksimalkan saja.
5.
Penyelesaian petunjuk teknis, salah satunya
penggunaan dana kapitasi. Karena otoritas tanggungjawab Kemenkes adalah
bagaimana penggunaan hasil kapitasi dari puskesmas.
6.
Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan agar segera
melakukan penyusunan pedoman pelayanan dan peninjauan ulang atas regulasi yang
disharmoni.
7.
Dalam hal pelayanan, sebaiknya segera dilakukan
penyusunan pedoman rujukan sosialisasi kepada fasilitas kesehatan, sekaligus
melakukan pembaharuan data fasilitas kesehatan. Kemudian yang terpenting
adalah, BPJS segera melakukan sosialisasi tentang adanya program
Jaminan Kesehatan Nasional kepada seluruh masyarakat Indonesia.
8.
Hal yang perlu di evaluasi oleh pihak BPJS seperti (a)
tarif INA-CBGs yang terlalu rendah pada beberapa bagian ilmu penyakit
(b) belum adanya standar clinical pathway atau pedoman
SOP dokter di rumah sakit (c) Masalah harga obat dan kepastian distribusi obat.
2.4.Dampak
Penetapan Anggaran PBI Jaminan Kesehatan terhadap Keuangan Negara dan Pelayanan
Kesehatan
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, besaran iuran dana PBI antara usulan tim DJSN,
Jamsostek, Askes, dan IDI berbeda dengan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan
yang akhirnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah telah menganggarkan dana
sebesar Rp19,932 triliun dalam pelaksanaan program SJSN. Dana tersebut
digunakan untuk membayar premi sebesar Rp19.225 per orang penerima bantuan
iuran selama 12 bulan. Walaupun anggaran untuk kesehatan yang telah ditetapkan
pemerintah untuk tahun anggaran 2008-2013 terus mengalami peningkatan rata-rata
4,5% per tahun. Namun, peningkatan tersebut cenderung setara dengan tingkat
inflasi dalam kurun waktu tersebut kecuali untuk semester akhir tahun 2013 dan
tahun 2008 dengan tingkat inflasi masing-masing berada pada kisaran 8% dan 11%.
Pada bagian terdahulu
telah dijelaskan mengenai perbedaan usulan skema tarif baik dari tim DJSN,
Jamsostek, Askes, dan IDI. Pertanyaan selanjutnya lantas berapakah tarif yang
wajar atau pantas ditetapkan untuk penentuan besaran iuran PBI Jaminan
Kesehatan oleh BPJS ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan berbeda-beda
karena banyaknya standar tarif yang ada saat ini selain isu mengenai Equity dan Quality, mana yang harus didahulukan. Prinsip Equity mensyaratkan jaminan kesehatan bersifat universal dengan
mencakup seluruh penduduk, sedangkan prinsip Quality menyatakan bahwa jumlah dana yang ditetapkan harus cukup
untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai. Pada beberapa waktu yang
lalu muncul wacana untuk menyesuaikan besaran iuran PBI dengan tarif
berdasarkan INA-CBG seluruhnya. Apa yang berjalan saat ini, pembayaran JKN
secara garis besar dibagi menjadi dua. Untuk fasilitas kesehatan primer
(meliputi pengobatan oleh Puskesmas, dokter praktek, bidan praktek, klinik
pratama, RS pratama) akan menggunakan Kapitasi. Sedangkan untuk pengobatan
tertentu yang tercakup dalam fasilitas kesehatan lanjutan perhitungan standard
biayanya mengikuti standar biaya berdasarkan INA-CBG.
Kapitasi adalah
metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana Pemberi Pelayanan
Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per
peserta, per periode waktu (bulanan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per
periode waktu. Kapitasi didasari dari jumlah tertanggung (orang yang diberi
jaminan atau anggota) baik dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sehat yang
besarnya dibayarkan di muka tanpa memperhitungkan jumlah konsultasi atau pemakaian
pelayanan di PPK tersebut.
Namun penggunaan sistem
kapitasi memungkinkan timbulnya underutilization
atau pengurangan fasilitas dan kualitas pelayanan agar penyedia layanan bisa
mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda dengan sistem
kapitasi, pada INA-CBG menggunakan casemix
sebagai acuan untuk menetapkan standar biaya pelayanan kesehatan. Casemix adalah pengelompokan diagnosis
penyakit yang dikaitkan dengan biaya perawatan dimana satu kelompok biaya
mencakup penyakit yang memiliki ciri klinis yang sama dan menggunakan sumber
daya/biaya perawatan yang cenderung sama. Sistem ini dikembangkan untuk sistem
pembayaran paket prospektif rumah sakit yang memberikan pelayanan JKN dan
berbasis pada real cost dari rumah
sakit terpilih. Struktur tarif diupayakan stabil, sederhana, berbasis pada
jenis pelayanan, dan dapat terus di-update
yang mengacu pada perbaikan biaya rumah sakit. Alangkah baiknya jika penetapan
porsi dana subsidi bagi PBI mengacu seluruhnya pada standard biaya INA CBG,
karena standar biaya inilah yang mampu menggambarkan biaya penyelenggaraan
pelayanan kesehatan secara tepat. Subsidi dana bagi iuran PBI sebesar Rp19,932
triliun memiliki porsi hanya sebesar 1,09% dari total alokasi belanja negara
untuk tahun 2014 sebesar Rp1.816,7 triliun. Jika besaran subsidi bagi PBI ini
kita naikkan sebesar 15% saja, maka dana yang tersedia bagi setiap PBI adalah
kurang lebih Rp22.000 per orangnya dengan total beban anggaran menjadi Rp22,921
triliun. Tentunya anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah melalui
kajian yang matang, namun tidak menutup kemungkinan besaran dana PBI yang
tercantum dalam RAPBN 2014 akan berubah dalam RAPBN-P 2014 yang akan ditetapkan oleh pemerintah. Masukan,
kajian, dan perhitungan yang matang yang bersumber dari berbagai pihak akan
menjadi pertimbangan pemerintah untuk menaikkan besaran iuran PBI atau tetap
pada jumlah yang sama sebelumnya sebesar Rp19.225 per orangnya.
2.5.Potensi
Masalah yang Mungkin Timbul dalam Pelaksanaan JKN – BPJS Kesehatan, Khususnya
PBI Jaminan Kesehatan
1. Informasi
mengenai BPJS Kesehatan khususnya PBI Jaminan Kesehatan belum tersampaikan
secara optimal, atau kalaupun sudah tersampaikan, masih terdapat perbedaan
pemahaman.
Pemahaman
yang seragam dan komprehensif dari masyarakat, penyedia layanan kesehatan,
dokter, dan stakeholder lain di
lapangan akan sangat mendukung terlaksananya program JKN dengan baik
2.
Terdapat kemungkinan perbedaan perlakuan
antara peserta PBI dan peserta non-PBI.
Sebagai
contoh, peserta PBI dan peserta non-PBI, walaupun mendapat ruang perawatan yang
sama yaitu kelas III tapi besaran iuran dan jumlah anggota keluarga yang
dicakup berbeda. Iuran PBI ditanggung oleh Pemerintah, sedangkan peserta
non-PBI harus membayar untuk dirinya sendiri Rp25.500 setiap bulan dan jika
peserta ingin mendaftarkan anggota keluarga (istri/suami dan anak), besaran
iuran itu harus dibayar berdasarkan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan.
Perbedaan
tersebut tentu dapat menyebabkan perbedaan perlakuan peserta PBI dan peserta
non-PBI, sehingga terdapat kasus peserta PBI Jaminan Kesehatan ditolak di salah
satu rumah sakit.
3.
Tidak semua peserta Jamkesmas terdaftar
menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan dan kemungkinan adanya peserta ganda.
Sesuai
dengan semangat PBI Jaminan Kesehatan, semua peserta Jamkesmas otomatis menjadi
peserta PBI Jaminan Kesehatan. Akan tetapi, pada kenyataannya, terdapat
beberapa kasus peserta Jamkesmas ditolak oleh rumah sakit karena tidak termasuk
dalam database PBI Jaminan Kesehatan.
Hal
ini dapat terjadi karena kesalahan dalam penempatan keluarga PBI Jaminan
Kesehatan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial. Kesalahan dapat
terjadi dalam memasukkan sebuah keluarga (inclusion
error) atau tidak memasukkan sebuah keluarga (exclusion error) dalam daftar PBI (Thabrany, 2012). Selain itu,
terdapat kemungkinan peserta terdaftar dua kali atau peserta ganda mengingat
bahwa tidak semua BPJS Kesehatan di daerah mengunakan sistem komputerisasi online. Bahkan, pada beberapa daerah,
terdapat BPJS dan fasilitas kesehatan yang masih memproses data secara manual.
4.
Tata cara perubahan status peserta dari
peserta PBI menjadi non-PBI maupun sebaliknya masih belum diatur dengan jelas.
Belum
adanya peraturan yang mengatur dengan jelas perubahan status tersebut
berpotensi menimbulkan permasalahan pada pelaksanaan di lapangan. Menurut
artikel dari situs JamsosIndonesia.com,
ada tiga hal yang memerlukan pengaturan yang rinci dan operasional, yaitu
a. Siapa
atau instansi mana yang berwenang menentukan perubahan status kepesertaan
seseorang?
b. Bagaimana
tata cara penilaiannya dan penghapusan namanya dari daftar kepesertaan
sebelumnya?
c. Siapa
yang melakukan pendaftaran dan membayar iuran pertama, apakah Peserta yang
bersangkutan atau Pemberi Kerja/dan atau Pekerja yang bersangkutan dalam hal
yang bersangkutan Pekerja Penerima Upah?
Pengaturan
perubahan tersebut berkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab menentukan
status kepesertaan, keterlibatan pemerintah daerah, proses perubahan status,
sosialisasi kepada fasilitas kesehatan dan masyarakat, dan beberapa
permasalahan lain. PP Nomor 101 Tahun 2012 hanya mengamanatkan verifikasi dan
validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan setiap enam
bulan.
5.
Mekanisme integrasi dari Jamkesda ke PBI
Jaminan Kesehatan belum diatur secara tegas dan jelas.
Sebanyak
107 kabupaten/kota telah menandatangani kesepakatan untuk siap mengintegrasikan
Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Namun, tercatat baru 32 yang merealisasikannya
dengan jumlah peserta yang dimigrasi sebanyak 3,5 juta lebih. Iuran PBI yang
dibayar oleh pemerintah sebesar Rp19.225, sedangkan iuran Jamkesda yang dijamin
oleh Pemda kurang dari itu, bahkan terdapat Pemda yang hanya menyediakan pagu
iuran per orang per bulan kurang dari sepuluh ribu rupiah. Mekanisme yang ada
saat ini, penerima Jamkesda yang diintegrasikan ke PBI, selisih kekurangan
iuran PBI Jaminan Kesehatan dengan Jamkesda dibayar oleh pemda dengan dana dari
APBD. Hal ini tentu saja memberatkan APBD Pemerintah Daerah.
6.
Kemampuan Keuangan Negara, dalam hal ini
APBN, untuk mendanai PBI jaminan kesehatan, sehingga menjadi program yang
berkelanjutan.
Sesuai
dengan Pasal 11 ayat (4) PP Nomor 101 Tahun 2012, verifikasi dan validasi
terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan setiap enam bulan.
Begitu juga dengan besaran PBI per orang per bulan juga direviu setiap enam
bulan. Semakin banyak jumlah peserta PBI dan semakin besar iuran PBI per orang
per bulan serta besarnya biaya pelayanan kesehatan dan obat yang meningkat
setiap tahun, akan membebani Keuangan Negara.
Persoalan
berikutnya adalah apabila terjadi perpindahan jenis kepesertaan yang cukup
besar dari peserta non-PBI menjadi PBI yang tentu akan berdampak pada besarnya
anggaran PBI yang harus disiapkan pemerintah dalam APBN, ditambah adanya faktor
inflasi tiap tahun.
Roadmap
JKN 2012-2019 juga mensyaratkan integrasi Jamkesda ke BPJS Kesehatan yang pasti
akan menambah jumlah peserta PBI cukup signifikan. Masih menurut Roadmap JKN tersebut, pada akhir tahun
2019 iuran PBI akan ditetapkan hampir sama dengan iuran non-PBI, sehingga perlu
disiapkan pendanaan yang cukup dan berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa untuk
tahun 2014 saja terdapat selisih Rp6.275 antara iuran PBI dengan iuran non-PBI
kelas terendah. Selisih tersebut sangat mungkin akan semakin besar pada
tahun-tahun berikutnya.
7. Jumlah
fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan belum memadai dan tidak tersebar
merata di seluruh Indonesia, serta terdapat perbedaan kondisi geografis
Indonesia.
Di
wilayah Indonesia Timur, terjadi kekurangan penyediaan pelayanan kesehatan
sebagai akibat dari penyediaan fasilitas kesehatan yang terbatas dan sulitnya
akses. Pelayanan kesehatan yang diberikan mungkin gratis, tetapi biaya
transportasi menuju tempat fasilitas kesehatan juga perlu diperhitungkan.
Penyediaan pelayanan kesehatan tergantung pada infrastruktur yang ada. Tanpa
ada perbaikan infrastruktur dikawatirkan pemerataan pelayanan kesehatan menjadi
sulit.
8. Belum
diatur dengan jelas mekanisme pemberian kompensasi dalam hal tidak terdapat
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.
Pasal
34 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Jaminan Kesehatan
menyebutkan bahwa, dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan
yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS
Kesehatan wajib memberikan kompensasi. Kompensasi dapat berupa:
a. penggantian
uang tunai (digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi);
b. pengiriman
tenaga kesehatan; atau
c. penyediaan
Fasilitas Kesehatan tertentu.
Tata cara pemberian kompensasi tersebut
belum diatur.
2.6.Masalah
Umum BPJS Kesehatan terhadap Rumah Sakit Swasta
Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) terus
berbenah untuk turut berpartisipasi menyukseskan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua ARSI
periode 2014-2017, drg Sjahrul Amri, MHA, mengatakan, sedikitnya terdapat empat
poin yang masih dikeluhkan oleh RS swasta
Pertama, belum adanya standar clinical
pathway atau pedoman SOP dan Standar Pelayanan Medis (SPM) setiap dokter di
rumah sakit, membuat terjadinya benturan di lapangan. Antara dokter dan
manajemen RS pun berbeda.
Clinical Pathways merupakan suatu
konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang
diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan
keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka
waktu tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathways menjadi salah satu
komponen dari Sistem DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan
prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top
down costing atau activity based costing maupun kombinasi keduanya).
Implementasi Clinical Pathways berkaitan erat dengan Clinical
Governance dalam hubungannya menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan
biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau.
Clinical Pathway adalah alur suatu
proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau
tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang, yang merupakan
integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan
pelayanan kesehatan lainnya. Clinical Pathway bukan merupakan clinical
Guidelines atau protocal, karena setiap kasus dalam clinical pathway dibuat
berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada standar
pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana
pelayanan rumah sakit. Clinical Patway dapat digunakan untuk prediksi lama hari
dirawat dan biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya rumah sakit.
Penyusunan Clinical Pathway dan
perhitungan cost of care untuk kasusu kasus yang sering terjadi sangat
diperlukan untuk pengendalian mutu dan biaya rumah sakit mengingat standar
Akreditasi International Rumah Sakit berdasarkan Joint Commission International
(JCI) yang diadopsi oleh komisi akreditasi Rumah sakit (KARS) mensyaratkan agar
Rumah Sakit menyusun setidaknya 5 Clinical Pathway setiap bulan.Oleh karena itu
perlu pemahaman khusus dalam penyusunan clinical pathway sehingga rumah sakit
dapat menghitung biaya pelayanan kesehatan dari masing masing clinical pathway
berdasarkan perhitungan unit cost yang telah dimiliki oleh RS dan
membandingkannya dengan tarif INA-CBG.
Kedua, paket tarif INA-CBG's membuat posisi tawar dokter
menjadi sulit. Apalagi banyak di RS swasta bukan dokter tetap, meskipun sudah
MoU soal BPJS.
Ketiga, Amri menyebutkan masalah harga obat dan kepastian
distribusi obat. Sistem kapitasi membuat pasien yang semestinya harus dirawat
lima hari, karena tarif terlalu murah, sehingga dalam waktu tiga hari pasien
selesai dirawat atau dibebankan dengan sistem cost sharing.
Keempat, tarif RS swasta dan pemerintah sama, kalau lihat
SDM-nya, RS pemerintah digaji pemerintah, RS swasta digaji secara mandiri.
2.7 Strategi Rumah Sakit Di Era Bpjs
Dalam menghadapi era BPJS tidaklah mudah, terlebih untuk rumah sakit, perlu
Pemikiran, strategi, pengertian, kesepahaman dan kesepakatan bersama diseluruh
internal rumah sakit, baik itu Dokter, Staf Perawat, Staf umum dan Manajemen.
Jika tidak cermat dan hati-hati cerita tentang lonjakan pasien rumah sakit
namun malah merugi akan menjadi rangkaian cerita ironi. Dari itulah perlu
langkah-langkah strategic dan taktik yang baik dalam melaksanakan kebijakan
JKN.
Hal pertama yang harus dirubah rumus dan pola pelayanan BPJS adalah merubah dari Fee For Servicess menjadi INA
CBG, penjelasannya adalah Fee For
Services : Cost + Profit = Price jika sebelumnya kita membuat tariff rumah
sakit itu dengan Biaya ditambah Keuntungan sama dengan Tarif Rumah Sakit, pada
saat era JKN hal ini tepat lagi dilakukan dan sebaiknya merubah rumusnya dengan
tariff - Cost = Profit maksudnya
adalah tariff rumah sakit dikurangi Biaya sama dengan Keuntungan rumah sakit,
strategi inilah yang digunakan oleh RS An-Nisa Tangerang dibawah Kepemimpinan
dr. Ediansyah MARS yang disampaikan pada saat Kongres PERSI 2015 di JCC
Jakarta.
2.7.1
Tentukan Bisnis Model Rumah Sakit
Sebagai pengelola rumah sakit kiranya wajib menentukan bisnis model,
sehingga apa yang dilakukan dilapangan dan akibatnya pada dampak resiko tidak
besar. Katakanlah saat ini rumah sakit sudah bekerjasama dengan BPJS, namun
demikian tetap harus mempertimbangkan dan menentukan arah kebijakan rumah sakit
mau seperti apa dan dibawa kemana.
·
Segmen Pelanggan
Lakukan segmentasi pelanggan, apakah rumah sakit anda terdiri dari pasien
jaminan BPJS, Asuransi lainnya, dan Biaya Pribadi. Presentasikan dan kelompokan
masing-masing pelanggan tersebut dengan menggunakan peta pelaggan.
·
Proposisi Nilai
nilai apa yang akan diberikan oleh rumah sakit kepada pasien yang dilayani,
dengan keunggulan, atau mutu dan kualitas, atau bahkan perbedaan yang menonjol
dari rumah sakit lainnya.
·
Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran pada rumah sakit salah satunya adalah bagaimana bisa
membuat dan mensepakati system rujukan pasien dari PPK 1 ke rumah sakit dan
selanjutnya ke rujukan keatasnya jika diperlukan. Ini tentu harus menjadi
kesepakatan dan pemahaman aturan JKN itu sendiri, tidak terjadi Fraud baik dari sisi Masyarakat, Rumah
sakit maupun BPJS itu sendiri.
·
Hubungan Pelanggan
Pentingnya hubungan pelanggan dalam hal ini masyarakat sebagai pasien rumah
sakit. Hubungan baik itu bisa berupa penyuluhan kepada masyarakat, edukasi,
santunan dan sampai pada pengobatan gratis dan sebagainya. Namun hal yang
paling penting dari arti hubungan pelanggan adalah bagaimana rumah sakit mampu
melayani pasien BPJS dengan PRIMA.
·
Hitung Pendapatan
Menghitung pendapatan tentu saja merupakan aktifitas yang biasa dilakukan oleh
semua bisnis. Namun untuk BPJS perlu lebih cermat dan hati-hati dalam melakukan
penghitungan. BPJS sebaiknya jangan di hitung secara Parsial atau satu persatu
pasien melainkan harus dengan Periodik / rentang waktu tertentu sehingga rumah
sakit akan bisa melihat nilai keuntungan rumah sakit.
·
Sumber Utama
Apa yang dimaksud dengan sumber utama ? sumber utama adalah kunci
pendapatan utama rumah sakit saat ini. Jika rumah sakit porsentasenya BPJS
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien umum katakanlah 80% - 20% maka sumber
utama rumah sakit adalah pasien BPJS. Manajemen rumah sakit harus sadar betul,
bahwa pendapatan utama mereka dari BPJS. Kesadaran ini harus bisa diterima oleh
semua komponen mulai dari pimpinan, staf dan dokter serta perawat. Jika semuanya
sudah memiliki kesadara sama maka, kebijakan remunerasi juga tentunya akan
menyesuaikan dengan pendapatan. Sebagai contoh, jika pasien BPJS akan sangat
sulit bagi rumah sakit jika Dokter yang dibayar harus disamakan honornya dengan
pasien jaminan biaya pribadi. Jadi saat rumah sakit menerima pasien BPJS sudah
harus disiapkan perhitungan honorarium yang menyesuaikan tariff BPJS sehingga
tidak terjadi kerugian bagi rumah sakit.
·
Aktifitas Kunci
Clinical Pathway Urutan optimal dan waktu
intervensi oleh dokter, perawat dan disiplin lainnya untuk diagnosis atau
prosedur tertentu, yang dirancang untuk meminimalkan penundaan dan sumber daya
pemanfaatan dan untuk memaksimalkan kualitas pelayanan. Aktifitas kunci adalah aktifitas penting
dalam proses tersebut.
·
Jika rumah sakit Type D ya rumah sakit harus melayani pasien sesuai dengan
kelas rujukannya. Atau sebaliknya rumah sakit karena tidak mau rugi maka pasien
main rujuk ke rumah sakit diatasnya. Saat penerimaan pasien rumah sakit harus
menggunakan
·
Mitra Utama
Rumah sakit harus memiliki hubungan harmonis dengan mitra kunci atau mitra
utama, dalam hal ini mitra utama rumah sakit adalah Pemerintah, Dokter, Farmasi
dan Karyawan. Perusahaan yang bekerjasama dan semua mitra yang dianggap turut
serta memiliki peran lebih dalam berbisnis.
·
Struktur Biaya
Struktur biaya dalam pengelolaan rumah sakit harus benar secara kaidah
akuntasi keuangan, mampu memilah pembiyaan yang prioritas dan yang tidak.
Diharapkan didukung dengan system dan teknologi informasi yang memadai akan
memudahkan pengelola rumah sakit dalam melihat performance keuangan bisnisnya.
2.7.2
Strategi Kompetitif
Dalam menjalankan rumah sakit pengelola harus menemukan strategi apa yang
ingin dibuat, apakah Low Cost / berbiaya rendah, atau pelayanan bermutu ? atau
focus pada segmen pelanggan tertentu ? petakan pelanggan kemudian tentukan
strategi apa yang akan digunakan.
2.7.3
Strategi Fungsional
Berbicara Bisnis Strategi tentunya harus didukung dengan Fungsional
Strategi. Strategi fungsional Apa yang harus disiapkan ?
·
Strategi Sumber Daya Manusia
Pengetahuan manajemen dalam rangka menjalan rumah sakit sangatlah penting,
kemampuan dan keahlian dari sumber daya manusia yang menduduki fungsi
masing-masing menjadi factor utama. Usahakan jangan sampai salah melakukan
penetapan sumberdaya mansusia dimasing-masing bagian. Terutama para manager
yang secara teknis harus memahami dan menguasai pekerjaan mereka.
·
Strategi Operasional
Strategi operasional terkait dengan operasional yang ramping, struktur
manajemen yang tidak terlalu lebar rentang kendalinya, sehingga bisa lebih
efektif. Suplay chain management
menjadi penting sehingga efisien dan efektifitas bisa terwujud dan akibatnya
adalah kendali biaya bisa diwujudkan dengan baik.
·
Strategi Pemasaran
Apakah di era BPJS peran marketing atau pemasaran hilang ? menurut penulis
tidak! Peran pemasaran tidak hanya mempromosikan, mengajak dan memastikan orang
untuk memutuskan berobat di rumah sakit melainkan masih banyak tugas dan
tanggungjawabnya salah satunya adalah memastikan pelayanan dan kepuasan
pelanggan terpenuhi. Mampu secara responsive terhadap keluhan dan complain
pasien. Terus menerus memberikan informasi, promosi kesehatan dan bimbingan
kepada masyarakat. Selain itu harus mampu menarik informasi dari luar untuk
memberikan masukan kepada manajemen dengan tujuan membangun pelayanan yang
bermutu kepada pasien.
·
Strategi Keuangan
Strategi keuangan pada tiap bisnis mungkin berbeda, namun intinya sama,
seluruh bisnis tidak terkecuali rumah sakit tentu ingin mendapatkan profit,
keuntungan dari usaha yang dijalankannya. Namun ada hal yang paling pundamental
dari bisnis rumah sakit ini adalah strategi keuangan harus mampu melakukan
kendali keuangan rumah sakit. Kendali keuangan rumah sakit menjadi penting
karena berkaitan dengan operasional dan keberlangsungan hidup rumah sakit itu
sendiri. Manajer keuangan ditingkat fungsional harus mampu menjadi filtering
awal dan mampu menganalisa kebutuhan prioritas rumah sakit. Mampu membuat
laporan keuangan sesuai dengan kaidah keuangan yang benar.
2.7.4
Kepemimpinan Transformasi Bisnis
Anda
Setelah menentukan Strategi bisnis dan menentukan model bisnis hal yang
paling penting adalah peran Pimpinan dalam menjalankan bisnis rumah sakit.
Perubahan kebijakan yang sangat cepat perlu pemimpin yang kuat, baik secara
pribadi, analisa bisnis dalam mengambil keputusan. Sebaik apapun strategi yang
dibuat, sehebat apapun sumber daya manusia yang dimiliki tanpa pimpinan yang
kuat itu semua tidak akan menjadi apa-apa. Pimpinan yang memiliki visi dan misi
serta konsisten pada keputusan strateginya akan lebih mudah melalui trubulensi
perubahan. Arahan, pembinaan dan komunikasi yang terjaga akan membangun tim
yang handal dan mampu melihat dampak resiko bisnis dengan baik, mencipatakan
budaya organisasi yang optimis. Dengan demikian phenomena tentang BPJS akan
bisa diterima bahkan bisa membawa rumah sakit tumbuh dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
33.1. Kesimpulan
Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) terus
berbenah untuk turut berpartisipasi menyukseskan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua ARSI
periode 2014-2017, drg Sjahrul Amri, MHA, mengatakan, sedikitnya terdapat empat
poin yang masih dikeluhkan oleh RS swasta
Pertama, belum adanya standar clinical
pathway atau pedoman SOP dan Standar Pelayanan Medis (SPM) setiap dokter di
rumah sakit, membuat terjadinya benturan di lapangan. Antara dokter dan
manajemen RS pun berbeda.
Clinical Pathway adalah alur suatu
proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau
tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang, yang merupakan
integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan
pelayanan kesehatan lainnya. Clinical Pathway bukan merupakan clinical
Guidelines atau protocal, karena setiap kasus dalam clinical pathway dibuat
berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada standar
pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana
pelayanan rumah sakit. Clinical Patway dapat digunakan untuk prediksi lama hari
dirawat dan biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya rumah sakit.
Kedua, paket tarif INA-CBG's membuat posisi tawar dokter
menjadi sulit. Apalagi banyak di RS swasta bukan dokter tetap, meskipun sudah
MoU soal BPJS.
Ketiga, Amri menyebutkan masalah harga obat dan kepastian
distribusi obat. Sistem kapitasi membuat pasien yang semestinya harus dirawat
lima hari, karena tarif terlalu murah, sehingga dalam waktu tiga hari pasien
selesai dirawat atau dibebankan dengan sistem cost sharing.
Keempat, tarif RS swasta dan pemerintah sama, kalau lihat
SDM-nya, RS pemerintah digaji pemerintah, RS swasta mandiri.
KABAR BAIK!!!
ReplyDeleteNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.