ARTIKEL NUTRISI PADA PERIODE EMAS ANAK PENENTU KEBERHASILAN PENURUNAN ANGKA STUNTING

 


ABSTRAK

Prevalensi stunting di Indonesia memiliki angka cukup stagnan dari tahun 2007 hingga 2013 dan mulai mengalami penurunan di 2018. WHO menetapkan batasan masalah gizi tidak lebih dari 20%, sehingga dengan demikian Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat. Tujuan artikel ini adalah untuk mengkaji pentingnya perhatian orangtua pada nutrisi anak di periode emas pertumbuhan anak sebagai upaya krusial dalam mengatasi permasalahan stunting di Indonesia. Periode 1000 hari pertama kehidupan merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Penurunan angka stunting hanya mencapai 4% antara tahun 1992 hingga 2013 dan cukup siginifikan di tahun 2018. Perpres no. 42/2013 telah menetapkan Gerakan Nasional Seribu Hari Pertama Kehidupan dalam upaya meningkatkan status gizi balita. Stunting  memiliki risiko panjang yakni Penyakit Tidak Menular pada usia dewasa, walaupun masih dapat dikoreksi pada usia dini. Upaya penurunan masalah gizi harus ditangani secara lintas sektoral di semua lini. Ibu dan calon pengantin harus dibekali dengan pengetahuan cukup tentang gizi dan kehamilan, ASI Eksklusif pada ibu bersalin yang sehat. Selanjutnya  MP-ASI harus dipahami oleh para ibu dan tenaga kesehatan secara optimal.

Kata kunci: Stunting, Analisis Kebijakan, Indonesia, Balita, Periode Emas


 

PENDAHULUAN

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor terkait.                 

 Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa (Black, 2008).                                                                             Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus ditangani secara serius. Hasil-hasil Riskesdas menunjukkan, besaran masalah Stunting yang relatif stagnant sekitar 37% sejak tahun 2007 hingga 2013 dan mengalami penurunan di tahun 2018. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, lebih dari separuhnya memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional dan untuk daerah Sumatera Barat termasuk ke di atas rata-rata nasional dan lebih tinggi dari batasan WHO yaitu 20.3%. (Kementerian Kesehatan, 2018).                                                                                                                                                                     Prevalensi BBLR menurut Riskesdas yaitu  sebesar 10,2% pada tahun 2013 dan mengalami penurunan menjadi 6,2% pada tahun 2018. Proporsi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2%  pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 22,6% pada tahun 2018. Proporsi pemberian ASI secara ekslusif selama enam bulan masih rendah yaitu sebesar 15,3% tahun 2013 dan mengalami peningkatan menjadi 74,5%. Pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan, 2018) Dari penelitian terdahulu dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara  kejadian stunting dengan berat badan lahir dan pemberian ASI serta pemberian makanan pendamping ASI yang tidak optimal.                                                                           Pertumbuhan Stunting yang terjadi pada usia dini dapat berlanjut dan berisiko untuk tumbuh pendek pada usia remaja. Anak yang tumbuh pendek pada usia dini (0-2 tahun) dan tetap pendek pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 27 kali untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas. Sebaliknya anak yang tumbuh normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia pra-pubertas (Aryastami, 2015).10 Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan Stunting masih tetap dibutuhkan bahkan setelah melampaui 1000 Hari Pertama Kehidupan.

BAGIAN INTI

A.    Pengertian Stunting

Stunting merupakan keadaan kurang gizi yang dapat menjadi perhatian yang paling utama di negara-negara berkembang (Kurniasih dkk, 2010). Stunting merupakan kekurangan gizi pada masa balita jadi mengakibatkan pertumbuhan yang tidak sempurna pada masa berikutnya. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya. Stunting yang dialami anak dapat disebabkan oleh tidak terpaparnya periode 1000 hari pertama kehidupan mendapat perhatian khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depan. Stunting dapat pula disebabkan tidak melewati periode emas yang dimulai 1000 hari pertama kehidupan yang merupakan pembentukan tumbuh kembang anak pada 1000 hari pertama. Pada masa tersebut nutrisi yang diterima bayi saat di dalam kandungan dan menerima ASI memiliki dampak jangka pajangterhadap kehidupan saat dewasa                                                                                                                                                                              Stunting yang dialami anak dapat disebabkan oleh tidak terpaparnya periode 1000 hari pertama kehidupan mendapat perhatian khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depan. Stunting dapat pula disebabkan tidak melewati periode emas yang dimulai 1000 hari pertama kehidupan yang merupakan pembentukan tumbuh kembang anak pada 1000 hari pertama. Pada masa tersebut nutrisi yang diterima bayi saat didalam kandungan dan menerima ASI memiliki dampak jangka pajang terhadap kehidupan saat dewasa.

B.    Penyebab Stunting

Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting.                                                              Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gisi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukanpada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dari anak balita.

C.    Ciri-Ciri Anak Stunting

Ciri-ciri dari anak stunting yaitu : a) tanda pubertas terlambat; b) performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar; c) pertumbuhan gigi terlambat; d) usia 8 –10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye contact;e) pertumbuhan tinggi melambat; dan f) wajah tampak lebih muda dari usianya.

D.    Dampak Stunting

Dampak stunting antara lain yaitu mudah sakit, kemampuan koginitf berkurang, saat tua berisiko terkena penyakit berhubungan dengan pola makan, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, mengakibatkan kerugian ekonomi, postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (Buku Saku Stunting Desa, 2017). Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stuntingdapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu jangka pendek dan jangka panjang.Dampak stuntingdalam jangka pendekadalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

E.    Pencegahan Stunting

a.     Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil

Pemerintah menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, wanita yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter atau bidan.

b.     Beri ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

Air susu ibu (ASI) dapat mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu menyusui disarankan untuk tetap memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada sang buah hati.

c.     Dampingi ASI eksklusif dengan MPASI sehat

Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping ASI (MPASI). Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting.

d.     Terus memantau tumbuh kembang anak

Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Bawa si kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi orangtua untuk mengetahui gejala awal, gangguan, maupun penanganan stunting jika terjadi.

e.     Selalu jaga kebersihan lingkungan

Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung dapat meningkatkan peluang stunting pada anak. Diare dilaporkan menjadi faktor ketiga yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara itu, salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.




 

METODE

Analisis kajian dilakukan melalui review literatur terkait masalah gizi, pertumbuhan dan outcomenya yakni tumbuh dibawah kurva standar anthropometri WHO (<-2 standar deviasi). Kecenderungan pertumbuhan stunting (pendek) dipelajari dari berbagai literatur dan hasil-hasil studi sebelumnya yang terkompilasi dari berbagai survey sejak tahun 1992 (Survey Vitamin A) hingga Riskesdas 2018.  Literatur review dilakukan dari berbagai sudut pandang; teori dan jurnal untuk mempelajari determinan dan faktor risiko terkait variabel outcome (stunting). Kajian hasil analisis data Riskesdas 2018 merupakan  salah satu informasi berbasis masyarakat yang digunakan dalam menganalisis determinan terkait kejadian . Informasi terkait kebijakan dan program diperoleh dari sektor-sektor terkait antara lain Bappenas dan Kementerian Kesehatan. Selain itu berbagai sumber terkait gizi diperoleh dengan cara mengunduh dari situssitus dunia (WHO, Unicef, dll) melalui teknologi internet.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian longitudinal data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan perubahan Z-score pertumbuhan pada usia dini hingga usia pra-pubertas; pendek pada usia dini dan tidak berhasil mengejar (catch up) pertumbuhannya pada usia Balita sebanyak 77% akan tetap pendek pada usia pra-pubertas. Sebaliknya, anak yang pendek pada usia dini dan berhasil mengejar pertumbuhannya pada usia Balita, sebanyak 84% akan tumbuh normal pada usia pra-pubertas (Aryastami, 2015). Oleh karena itu upaya perbaikan dan intervensi untuk mencegah stunting tetap dibutuhkan pada usia balita.                                                                                                                                 Gangguan pertumbuhan dapat berawal dari dalam kandungan. Janin yang tumbuh dalam kandungan ibu yang mengalami kurang gizi kronis (KEK) akan beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian pertumbuhan janin tersebut menyebabkan pertumbuhan yang tidak optimal. Anemia ibu hamil juga sering dihubungkan dengan kelahiran prematur dan BBLR. Selain pengaruh KEK pada kehamilan, hasil Riskesdas 2013 menunjukkan proporsi ibu hamil dengan anemia di Indonesia mencapai 37,1%. Kondisi ini tentunya akan memperparah resiko BBLR dan pertumbuhan stunting pasca lahir. Berbagai program telah dikembangkan untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan janin, diantaranya adalah pemberian tablet tambah darah (TTD).  Sayangnya, hasil Riskesdas 2013 kembali menunjukkan bahwa cakupan konsumsi TTD pada ibu hamil hanya mencapai 33,2%, atau dengan kata lain, hanya 1 dari 3 ibu hamil mengkonsumsi cukup tablet tambah darah.

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

Prevalensi stunting yang cukup stagnan selama lebih dari lima tahun di Indonesia tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang semakin membaik. Secara teoritis kemiskinan dituduhkan sebagai penyebab mendasar masalah gizi (Unicef, 1990). Studi di Bangladesh menunjukkan hubungan kemiskinan dengan masalah gizi kurang dan buruk ditemukan pada ibu yang buta huruf, pendapatan rumah tangga yang rendah, memiliki saudara kandung yang lebih banyak, memiliki akses pada media yang lebih rendah, asupan gizi yang lebih buruk, serta sanitasi dan kesehatan lingkungan yang lebih rendah (Khan, 2009).                                                                                     Namun demikian, kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia tampaknya berpengaruh terhadap disparitas prevalensi stunting yang cukup lebar.  Hasil studi di Ghana menyebutkan, kemiskinan dan karakteristik wilayah sebagai penyebab kesenjangan dalam masalah gizi pada anak balita (Van de Poel E, 2007). Namun demikian, hasil studi dari negara-negara miskin dan sedang berkembang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara laju pertumbuhan ekonomi dengan masalah gizi kurang pada usia dini (Vollmer, 2014). Dengan demikian dibutuhkan upaya yang serius dalam penangan masalah gizi stunting pada usia dini bahkan dalam 1000 hari pertama kehidupan sebagai periode emas dalam pencegahan pertumbuhan stunting (de Onis M, 2011).                                                Pertumbuhan tidak optimal dalam masa janin dan atau selama periode 1000 HPK memiliki dampak jangka panjang. Bila faktor eksternal (setelah lahir) tidak mendukung, pertumbuhan stunting dapat menjadi permanen sebagai remaja pendek. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ukuran lebih kecil atau stunting ketika lahir, secara biologis memiliki ukuran yang berbeda dari mereka yang lahir dengan ukuran lebih besar (Araújo, 2008). Masalah pertumbuhan stunting sering tidak disadari oleh masyarakat karena tidak adanya indikasi ‘instan’ seperti penyakit.                                                                                                                                                               Tumbuh pendek seringkali dianggap sebagai pengaruh genetik, padahal faktor genetik hanya menjelaskan 15% variasi dibandingkan faktor gizi. Efek sisa pertumbuhan dapat menjadi predisposing terjadinya penyakit kronik pada usia dewasa; upaya memperbaiki lingkungan pertumbuhan masa janin dapat sekaligus mengurangi risiko penyakit degeneratif diusia dewasa. Oleh karena itu, penanggulangan masalah stunting harus dimulai jauh sebelum seorang anak dilahirkan  (periode 100 HPK) dan bahkan sejak masa remaja untuk dapat memutus rantai stunting dalam siklus kehidupan.

PENUTUP

Berdasarkan hasil kajian di atas maka :

a.     Perlu penguatan sistem agar 1000 HPK dapat menjadi bagian dari budaya dan kehidupan sosial di masyarakat (misal: ibu merasa malu bila tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya).

b.     Informasi mengenai ASI eksklusif, untung-ruginya menyusui bayi sendiri hingga menjadi donor ASI dapat dikembangkan melalui kelas ibu hamil.

c.     Pengetahuan ibu sebelum kehamilan atau sebelum menjadi pengantin (calon pengantin) merupakan target strategis yang paling memungkinkan untuk memberikan daya ungkit.

d.     Kursus singkat menjelang perkawinan harus dijadikan prasyarat untuk memperoleh surat nikah. Intervensi ini dapat menjadi bekal ibu sebelum hamil agar menjaga kehamilannya sejak dini,

e.     Status gizi dan kesehatan ibu hamil yang optimal akan melahirkan bayi yang sehat. Bayi yang lahir sehat dan dirawat dengan benar melalui pemberian ASI eksklusif, pola asuh sehat dengan memberikan imunisasi yang lengkap, mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup dan periode yang tepat.

f.      Bila pertumbuhan stunting dapat dicegah, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik, tanpa dibebani oleh biaya-biaya pengobatan terhadap penyakit degeneratif.


 

DAFTAR RUJUKAN

Aryastami, Ni Ketut , Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di Indonesia .Vol. 45, No. 4, 233 – 240, Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan

Black RE, Allen,LH., Bhutta, ZA., Caulfield, LE.,  de Onis, M., Ezzati, M., Mathers, C., Rivera, J. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet. 2008;371:243-60.

de Onis M, Blossner, M., Borghi, E. Prevalence and trends of stunting among pre-school children, 1990–2020. Public Health Nutrition. 2011:1-7

Kementerian Kesehatan, 2010. Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2003, Jakarta: Kementerian kesehatan

Kementerian Kesehatan, 2013. Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, Jakarta: Kementerian kesehatan

Kementerian Kesehatan, 2018. Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018, Jakarta: Kementerian kesehatan

Khan MM, Kraemer A. Factors associated with being underweight, overweight and obese among ever-married non-pregnant urban women in Bangladesh. Singapore medical  journal 2009;50(8):804–13.

Van de Poel E, Hosseinpoor, A.R., Jehu-Appiah, C., Vega, J., Speybroeck, N. Malnutrition and the disproportional burden on the poor: the case of Ghana. International Journal for Equity in Health. 2007;6(21):12.

Vollmer S, Harttgen K, Subramanyam MA, Finlay J, Klasen S, Subramanian SV. Association between economic growth and early childhood undernutrition: evidence from 121 Demographic and Health Surveys from 36 low-income and middle-income countries. Lancet Glob Health. 2014;2:e225-34.

 

 

Comments