Mengapa Ada Profesional Kesehatan yang Malas dan Ada yang Rajin?
Dalam meningkatkan pelayanan yang bermutu pada masyarakat, ada banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah, terutama untuk pengadaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Pelayanan kesehatan yang bermutu tentu tidak hanya pengadaan fasilitas, tetapi diperlukan sumber daya lainnya untuk mendukung terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu, salah satu sumber daya yang terpenting adalah sumber daya manusia. Sumber Daya Manusia adalah adalah salah satu pengelolaan yang penting untuk mengelola dan menjalankan kegiatan operasional di pelayanan kesehatan. (Thaha, Mardiana and Umar, 2016) Rumah sakit dan puskesmas merupakan Unit pelaksana teknis yang bertugas dibidang kesehatan yang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan prima kepada masyarakat. Agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efektif dan efisien, maka fasilitas pelayanan kesehatan berusaha meningkatkan kinerja pegawainya, akan tetapi pada kenyataanya saat ini masih terdapat pegawai yang kinerjanya masih tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian dewi tahun 2017 dalam wawancara dengan kepala sub bagian program dan kepegawaian ternyata masih banyak pegawai yang kinerjanya masih rendah dan belum optimal untuk memenuhi standar kinerjanya (Dewi, 2018). Salah satu bentuk perilaku pegawai yang mengakibatkan pada rendahnya kinerja adalah adanya pegawai yang malas dalam organisasi tersebut. Mengapa dalam organisasi terutama dalam bidang kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit masih ada pegawai yang malas di antara pegawai-pegawai yang rajin?. Pertanyaan ini dapat dijawab menggunakan salah satu teori perilaku yaitu Social Learning Theory. Salah satu tokohnya yaitu Albert Bandura, Dipilihnya teori ini karena pandangan Bandura bahwa perilaku manusia dapat diprediksi dan dimodifikasi melalui prinsip-prinsip belajar dengan memperhatikan kemampuan berpikir dan interaksi sosialnya. Manusia mampu me-ngatur diri sendiri dan mengontrol lingkungan. Menurut Social Learning Theory ini, Manusia dapat dipahami melalui interaksi timbal balik antara perilaku, kognitif, dan lingkungan (Hjelle and Ziegler, 1981). Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Perilaku (B=Behavior), Kognitif dan Faktor Personal (P= Personal) serta Lingkungan (E=Environmental) saling menentukan satu sama lain.
(diambil dari Hjelle & Ziegler. 1981)
Merujuk kepada gambar di atas, faktor kognitif menjadi faktor internal, lingkungan menjadi faktor eksternal dalam proses belajar untuk memodifikasi perilaku, dan perilaku manusia mewarnai interaksi sosial dalam lingkunganya. Dengan demikian, manusia tidak hanya sebagai obyek yang dipengaruhi lingkungan, akan tetapi juga mempengaruhi lingkungan(Hjelle and Ziegler, 1981). Social Learning Theory menekankan adanya hubungan timbal balik dalam interaksi antara manusia dan lingkungannya. Meskipun mengakui bagaimana lingkungan membentuk perilaku, teori ini berfokus pada kemampuan potensial orang untuk mengubah dan membangun lingkungan yang sesuai dengan tujuan yang mereka rencanakan sendiri. (Bandura, 2004) Salah satu upaya untuk memahami individu adalah dengan memahami perilakunya. Berdasarkan Social Learning Theory, untuk memahami perilaku individu maka perlu memahami interaksi individu tersebut dengan lingkungannya. Dalam hal ini, ada peran pimpinan di Puskesmas atau di Rumah Sakit perlu memahami bahwa lingkungan dapat membentuk perilaku bawahannya (pegawainya) dan lingkungan tersebut juga menggambarkan individu-individu yang ada di dalamnya. Pimpinan Puskesmas atau Rumah Sakit tersebut perlu juga memahami bahwa munculnya motif, dorongan dan kebutuhan dari pegawai yang mana ini merupakan pengaruh interaksi mereka dengan lingkungannya mereka itu sendiri. Lingkungan yang dimaksud bisa saja berasal dari lingkungan sosial tempat mereka bekerja seperti rekan kerja.
Social Learning Theory digambarkan dalam bentuk segitiga yang artinya ada hubungan atau keterkaitan pada masing-masing faktor tersebut, perilaku terbentuk karena faktor kognitif (pengetahuan, sikap dan ekspektasi), faktor perilaku (keterampilan, praktik, dan self-efficacy), dan faktor lingkungan (lingkungan sosial dan adanya norma-norma sosial). Semua faktor ini harus saling mendukung satu sama lain untuk terbentuknya perilaku.
Faktor kognitif terdiri dari pengetahuan, sikap dan ekspektasi (Bandura, 2004) pengetahuan dan sikap merupakan salah satu faktor yang menentukan kinerja pegawai (berperilaku rajin dan malas). Berdasarkan penelitian Dolle tahun 2016 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kinerja pengawai dengan p-value sebesar 0,000 (Dolle, 2016). Pendidikan bagi pegawai adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh organisasi. Dengan demikian melalui pendidikan pegawai diharapkan secara bertahap akan mengalami perubahan, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga proses kedewasaan akan terjadi pada diri manusia dan berkemampuan. Selain pengetahuan, ada faktor sikap yang menentukan kinerja, hal ini sesuai dengan penelitian sampe tahun 2014 bahwa ada pengaruh antara sikap dengan kinerja pegawai. Besarnya pengaruh sikap dengan kinerja pegawai pegawai sebesar 0,117 atau 1,17% (Sampe et al., 2014).
Teori ini memiliki aspek kognitif, sosial, emosional dan perilaku. Semua ini harus diatur dan diarahkan secara efektif untuk berbagai macam tujuan. dalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku, salah satunya faktor perilaku yang di dalamnya ada skill, practice dan self-efficacy (Rosdarni, Dasuki and Waluyo, 2015). Ada perbedaan yang jelas bagi individu antara hanya memiliki aspek-aspek tersebut (pegawai malas), atau yang mampu memadukan semuanya kedalam bidang tindakan yang tepat serta melakukanya dengan baik pada situasi yang penuh kesulitan (pegawai rajin). Hal ini nampak karena manusia sering mengalami kegagalan dalam melakukan sesuatu secara optimal meskipun mereka mengetahui benar apa yang seharusnya mereka lakukan dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukannya. Pegawai yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tetapi tidak ada Self-efficacy maka akan membentuk perilaku malas. Self-efficacy yang dimaksud adalah keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan serangkaian tindakan, dalam rangka mencapai hasil kinerja yang diinginkan (Bandura, 2004). Keyakinan memiliki efficacy dapat mendorong pegawai untuk melakukan kegiatan dengan rajin, sedangkan keyakinan bahwa tidak memiliki efficacy dapat membuat pegawai menghindari kegiatan yang sesungguhnya dapat memperkaya pengalamannya dalam kata lain adalah malas. Selain self-efficacy, adanya faktor keterampilan. Kebijakan pimpinan untuk memberikan atau mendorong pegawainya untuk mengikuti pelatihan merupakan langkah yang sangat tepat untuk meningkatkan efektivitas kerja dan keterampilan pegawai. Berdasarkan penelitian Dolle tahun 2016 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara keterampilan dengan kinerja pegawai dengan p-value sebesar 0,005 (Dolle, 2016). Peningkatan keterampilan dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pekerjaan di Puskesmas atau Rumah Sakit. Menurut Bandura, Standar pribadi dan keterampilan untuk menilai (judgemental skills) memungkinkan orang untuk mengunakan pengaruh self-reactive-nya terhadap perilakunya. Mereka akan melakukan kegiatan yang mengarah pada reaksi diri yang positif dan menghindari kegiatan yang mengarah pada reaksi diri negatif. Standar pribadi mempengaruhi perilaku terutama melalui fungsi motivasinya karena orang berusaha untuk dapat melakukan kinerja yang diperlukannya. Orang juga bereaksi terhadap self-motivator yang konkret. Misalnya, orang dapat beristirahat, bersantai dan melakukan kegiatan rekreasi bila suatu kinerja telah berhasil dicapainya. Berdasarkan pernyataan Bandura di atas, diketahui bahwa pegawai malas bekerja (kinerja buruk) disebabkan karena rendahnya self-motivator sedangkan pegawai rajin bekerja (kinerja baik) disebabkan karena tingginya self-motivator (Bandura, 2004). Berdasarkan penelitian Saputri tahun 2014 bahwa bahwa variabel motivasi kerja dan budaya organisasi mampu memberikan kontribusi pengaruh terhadap kinerja sebesar 23,9%, dan sisanya 76,1% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian(Saputri and dkk, 2014).
Selain faktor di atas, terbentuknya perilaku malas dan rajin pada pegawai di puskesmas atau di rumah sakit dikarenakan ada faktor lingkungan (norma-norma sosial dan akses terhadap komunitas). Ada empat prinsip dalam Social Learning Theory, Pertama, hubungan diferensial yaitu interaksi dan hubungan dengan orang lain yang terlibat dalam, atau yang mengekspresikan norma, nilai, dan sikap mendukung jenis perilaku tertentu. Kedua, definisi, mengacu pada sikap dan makna seorang individu menempel pada perilaku tertentu, apa yang menyebabkan seseorang untuk mengkualifikasikan tindakan-tindakan tertentu sebagai benar atau salah, baik atau buruk, moral atau tidak bermoral. Masih kurangnya supervisi ke ruang kerja, dan tidak adanya teguran kepada pegawai malas mengakibatkan pegawai tidak mengetahui apakah perilaku yang selama ini mereka lakukan baik atau buruk, benar atau salah. Ketiga, penguatan diferensial, mengacu pada keseimbangan penghargaan aktual atau diantisipasi dan hukuman untuk melakukan, atau tidak melakukan perilaku tertentu bahwa kemungkinan seorang individu akan menahan diri dari, atau melakukan kejahatan tergantung pada keseimbangan hadiah masa lalu, sekarang, dan antisipasi masa depan dan hukuman atas tindakan mereka. Masih longgarnya peraturan terkait kedisiplinan pegawai baik di puskesmas maupun di rumah sakit mengakibatkan secara tidak langsung pihak puskesmas atau rumah sakit membentuk perilaku malas pada pegawainya dan efek jangka panjangnya adalah rendahnya kepuasan pasien serta menurunnya mutu pelayanan. Keempat, imitasi, menggambarkan keterlibatan individu dalam perilaku setelah pengamatan perilaku serupa di dikagumi yang lain (Fox, 2017).
Jadi, teori ini dapat diaplikasikan pada tingkat preventif (Setiawan, 2014). Pegawai yang malas diharapkan mendapatkan aspek Social Learning Theory ketika nantinya bekerja di Puskesmas atau Rumah Sakit. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah dalam berbentuk modeling, contoh sederhananya, pegawai rajin dapat menjadi model bagi pegawai yang malas atau pimpinan dapat menjadi model bagi bawahannya. Sehingga nantinya diharapkan ada perubahan perilaku dari yang malas menjadi rajin karena menurut teori ini perilaku dibentuk atas dasar lingkungan mereka sendiri. Selain itu perlunya dukungan sosial yang diterima dari lingkungan sosialnya seperti anggota keluarga dan teman-teman mereka, yang mana secara langsung dapat mempengaruhi perilaku mereka dengan harapann adalah pentingnya dan nilai yang diberikan orang itu (keluarga dan teman) pada pembentukan perilaku(Borhaninejad et al., 2017).
Daftar Pustaka
Bandura, A. (2004) ‘Health Promotion by Social Cognitive Means’, in Health Education and Behavior, pp. 143–164.
Borhaninejad, V. et al. (2017) ‘Predictors of Self-care among the Elderly with Diabetes Type 2: Using Social Cognitive Theory’, Diabetes and Metabolic Syndrome: Clinical Research and Reviews. Diabetes India, 11(3), pp. 163–166. doi: 10.1016/j.dsx.2016.08.017.
Dewi, A. R. (2018) ‘Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Mamuju’, Jurnal Bisnis, Manajemen, dan Informatika, 14(2), pp. 92–102. Available at: http://journal.unhas.ac.id/index.php/jbmi /article/view/2409/2042.
Dolle, M. (2016) ‘Pengaruh Kompetensi Profesional Terhadap Kinerja Pustakawan Universitas Hasanuddin’, Jupiter, XV(1), pp. 24–38.
Fox, B. (2017) ‘It’s nature and nurture: Integrating biology and genetics into the social learning theory of criminal behavior’, Journal of Criminal Justice. Elsevier Ltd, 49, pp. 22–31. doi: 10.1016/j.jcrimjus.2017.01.003.
Hjelle, L. A. and Ziegler, D. (1981) Personality Theories: Basic Assumpations Research and Applications. Second Edi. Auckhland: Mc. Graw-Hill.
Rosdarni, Dasuki, D. and Waluyo, S. D. (2015) ‘Pengaruh Faktor Personal terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(3), pp. 214–221. doi: 10.21109/kesmas.v9i3.567.
Sampe, M. S. et al. (2014) ‘Upt Perpustakaan Universitas Hasanuddin’, 2(2).
Saputri, L. T. and dkk (2014) ‘Pengaruh Motivasi Kerja Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan’, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Famasi, (1), pp. 63–68.
Setiawan, A. S. (2014) ‘Aplikasi teori belajar sosial dalam penatalaksanaan rasa takut dan cemasan anak pada perawatan gigi (Application of social learning theory in the management of children dental fear and anxiety)’, Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi), 47(2), p. 87. doi: 10.20473/j.djmkg.v47.i2.p87-91.
Thaha, R., Mardiana, R. and Umar, F. (2016) ‘Analisis Faktor Quality of Work Life Terhadap Kinerja Pelayanan Kesehatan Pegawai Rumah Sakit Pendidikan Unhas Di Kota Makassar’, Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 12(3), pp. 148–152. doi: 10.30597/MKMI.V12I3.1072.
Comments
Post a Comment