GAMBARAN KASUS
Pariaman merupakan kota di Sumatera Barat yang pertama kali yang mengatur tindakan Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) melalui Peraturan daerah (perda) Ketentraman dan ketertiban Umum. Penyusunan peraturan tersebut didasari Survei Keberadaan LGBT oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumbar diketahui Kota Pariaman adalah yang terbanyak di Sumbar yang dihuni oleh kelompok LGBT, maka kemudian diterbitkan sebagai upaya mengurangi angka LGBT.
Kota Pariaman menetapkan sanksi denda bagi LGBT yang menggangu ketertiban umum. Di dalam Perda itu terdapat dua pasal yang memuat tentang LGBT yaitu pasal 24 dan 25 yang mengatur tentang larangan dan sanksi hukum terhadap LGBT. Pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp.1.000.000.
Terdapat berbagai isu yang mewarnai penerapan peraturan tersebut yang membuatnya dinilai kurang efektif untuk menuruni angka LGBT. Isu-isu tersebut terkait diskriminasi kelompok LGBT, kurangnya sosialisasi perda sehingga muncul berbagai persepsi, munculnya persekusi, Bahkan di negara-negara dengan undang-undang anti-diskriminasi, individu LGBT dapat mengalami pelecehan atau kekerasan untuk ditampilkan di publik, dan dilaporkan tingkat bullying lebih buruk ketika mereka mengakses layanan kesehatan (Hegazi and Pakianathan, 2018). Isi perda bahkan dinilai masih kurang rinci dan lengkap mengatur secara teknis karena hanya memuat 2 pasal saja, tidak dilibatkannya pihak-pihak lain dalam perumusan Perda ini, serta tidak adanya aturan turunan pada tingkat desa.
PEMBAHASAN
Dari gambaran kasus di atas diketahui bahwa permasalahan utama terdapat pada perda itu sendiri yang belum secara rinci dan jelas dalam mengatur Perda LGBT ini. Untuk mengatasi permasalahan terkait sosial perilaku masyarakat terutama perilaku menyimpang LGBT ini, maka diperlukan pendekatan yang dengan sosial perilaku masyarakat setempat. Peraturan memang menjadi hal yang dipercaya dapat menekan seseorang untuk mengendalikan bahkan mengubah perilakunya bahkan dapat bersifat memaksa, tetapi perlu dilihat juga bahwa kenapa perda ini dibuat, fungsinya untuk merubah perilaku masyarakat terutama mereka yang LGBT maka perlu dilihat apa saja yang mempengaruhi adanya perubahan perilaku masyarakat.
Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP salah satu pasalnya mengatur tentang LGBT. Yang menarik di dalam KUHP adalah peletakan masalah LGBT sebagai sebuah “fakta” sehingga persetubuhan sesama jenis kelamin yang dilakukan antara orang dewasa tidak dimasukkan menjadi delik kesusilaan karena pengaturan dan larangan hanya diatributkan untuk melindungi “anak di bawah umur” (Sirait et al., 2017)
Dalam hal ini Pemerintah Kota Pariaman telah berusaha membuat regulasi mengenai sanksi untuk para LGBT yang mengganggu ketertiban umum. Selain itu, telah dilakukan review terhadap penelitian terkait LGBT dan kaitan dengan kesehatan dan perilaku yang mana menurut WHO dalam De Benedictis (2018) mengatakan bahwa selama tahun 2016 sekitar 36,7 juta orang yang hidup dengan virus AIDS terdaftar di seluruh dunia (De Benedictis-Serrano et al, 2018)
“.......Saat ini di Indonesia kasus HIV telah mencapai 0.5%, Dan rata-rata proporsi HIV pada gay dan waria itu 25%. Penemuan kasus HIV itu 64 kali lipat lebih gampang ditemukan pada kelompok LGBT...” (Narasumber 1)
Dari hasil telaah terkait isi perda tersebut masih dinilai kurang rinci dan lengkap mengatur baik dari sisi isi kebijakan sehingga penerapannya dinilai belum efektif
“....dengan adanya perda ini maka nantinya masyarakat akan lebih mudah untuk melakukan tindakan represif serta persekusi kepada mereka yang diduga LGBT, bukan terbukti LGBT, ditambah akan munculnya beda persepsi dalam masyarakat mengenai pasal itu, dampaknya yaa salah satunya kepada mereka yang waria yang tidak mengganggu ketertiban umum nanti bisa-bisa mereka mendapat perlakuan yang tidak-tidak dari masyarakat, .padahal kan mereka tidak mengganggu ketertiban umum...” (Narasumber 1)
“....ya efektif aja karena melakukan sesuatu hal karena ada kesempatan dan itu diam-diam...orang jual narkoba dan membeli narkoba serta menggunakan dengan diam-diam tapi dendanya dapat juga kan.. (Narasumber 2)
Narasumber 1 menyoroti sisi keteknisannya, sedangkan Narasumber 2 menyoroti pengalaman kasus yang hampir mirip.
teori perilaku sosial Health Belief Model (HBM) juga dapat digunakan untuk menjelaskan kekurang-lengkapan isi peraturan ini dari sisi wilayah konsep-konsep yang belum terjamah oleh peraturan ini. Secara ideal, HBM akan efektif untuk mengubah perilaku seseorang atau masyarakat bila semua konsep yang ada di dalamnya terpenuhi (Tarkang et al., 2015)
“...peraturan ini baru menjamah pada bagian kerentanan, manfaat, keseriusan dari penyakit itu... belum hubungan dengan orang lain yaitu barriers, cues-to-action dan bahkan pada self-efficacynya...” (Narasumber 1)
“......tapi pergaulan malah memiliki dampak yang besar apalagi teman, namun bagi saya kalau iman kuat, berteman sama siapa saja nggak masalah asal tau yang baik dan buruk....” (Narasumber 2)
Konstruksi utama dari HBM adalah perceived susceptibility, perceived severity), perceived benefits, perceived barriers, self-efficacy, dan cues-to-action (Donohoe, Omodior and Roe, 2018). Belum terjamahnya beberapa konsep di dalam perda menjadi kurang efektif dalam penerapan perda LGBT di Kota Pariaman. Yang dituju adalah perubahan perilaku, maka diperlukan pendekatan-pendekatan perilaku sosial. Dalam penyusunan peraturan sudah dipertimbangkan secara matang namun demikian juga perlu untuk memperhatikan teori sosial perilaku dalam penyusunannya.
Berdasarkan hasil wawancara, Perda ini belum menjamah kawasan yang sudah mulai melibatkan orang lain, yakni barrier, cues-to-action dan self-efficacy. Peraturan ini tidak mengatur mengenai bagaimana pengaruh lingkungan sosial secara teknis. Apakah ada mekanisme penerimaan aduan pelanggaran, apakah ada kesepakatan-kesepakatan di tingkat desa, sehingga tingkat desa memunculkan peraturan turunan. Jika hal tersebut belum bisa diatasi, maka ada ataupun tidak ada perda ini sulit memberi pengaruh kepada praktik LGBT di Kota Pariaman.
Selanjutnya cues to action, peraturan ini juga belum mengatur terkait informasi-informasi resmi terpercaya dan menarik seputar LGBT di Kota Pariaman. Terbatasnya paparan informasi semacam ini menyebabkan masyarakat tidak tergugah niatnya untuk mulai berubah, menjauhi praktik LGBT. Sebaiknya pemerintah daerah juga menyediakan informasi semacam ini sehingga masyarakat muncul rasa takut untuk berbuat perbuatan asusila. self-efficacy, juga ada dalam Social Cognitive Theory yaitu 3 faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku, salah satunya faktor perilaku yang di dalamnya ada skill, practice dan self-efficacy (Rosdarni et al., 2015). Peraturan ini belum mengatur upaya untuk membuat para pelaku LGBT sudah memutuskan untuk menjauhi perbuatan asusila tersebut. Tidak ada reward. Begitu juga dengan wadah yang disediakan bagi mereka yang ingin berubah seperti rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan De benedictis tahun 2018 Indikator self-efficacy dan mengatasi risiko seksual memiliki hubungan dengan komunikasi mitra, penggunaan kondom, dan seks aman dengan p < 0.05 (De Benedictis-Serrano et al., 2018)
Jika enam konsep utama itu dalam peraturan ini bisa ditambahkan ke dalam perda ini maka akan lebih efektif dalam merubah perilaku. Namun jika penambahan tersebut memerlukan proses yang panjang, bisa dilakukan dengan cara memasukkannya ke dalam program tertentu yang mendukung efektifitas peraturan tersebut.
PENYELESAIAN MASALAH
- Diperlukan program yang mampu mendukung efektifitas penerapan Perda ini seperti pemerintah perlu adakan kegiatan rehabilitasi bagi mereka yang ingin merubah perilaku LGBT.
- Penyelesaian masalah disesuaikan dengan minat KP-MAK: wawancara dengan narasumber 1 diketahui penemuan kasus HIV itu 64 kali lipat lebih gampang ditemukan pada kelompok LGBT. Tingginya kasus LGBT maka akan sejalan dengan tingginya kasus HIV tentu akan mejadikan pemiskinan negara karena seseorang HIV pengobatannya di tanggung negara. Maka dari itu perlu adanya “alternatif Pembiayaan” untuk mereka yang HIV ini. Seperti adanya donor asing, civil society organization,CSR dan lain-lain agar dana yang ada saat ini tidak banyak digunakan untuk mengobati pasien HIV saja.
- Melakukan sosialisasi kebijakan kepada masyarakat, tokoh adat, tokoh agama mengenai perda LGBT ini agar tidak adanya perbedaan persepsi mengenai makna pasal Perda LGBT.
- Disediakan pula forum khusus di dalamnya untuk berkonsultasi pada tenaga kesehatan dan forum khusus untuk sharing kepada sesama teman yang sudah memilih untuk berubah. Hal-hal ini diharapkan dapat memenuhi enam konsep utama HBM.
Comments
Post a Comment